Al-Imam Al-Ra’id Maulana Muhammad Zakiy Ibrahim

Bagi para pengkaji tasawuf atau pelaku tarekat, nama besar al-‘alim al-rabbani Maulana Syeikh Sayyid Muhammad Zakiyy al-Din Ibrahim tentunya tidak asing. Beliau adalah ulama ensiklopedis, salah seorang wali quthub pada masanya, pejuang (mujahid), penulis produktif, penyair, penceramah. Julukannya adalah Abu al-Barakat dan biasa dipanggil Zakiy al-Din. Para murid dan pencintanya kerap menyebut beliau sebagai Ra’id al-‘Ashirah al-Muhammadiyyah. Lahir pada 22 Agustus 1906 dari keluarga terpandang di daerah Bulaq, Mesir. Ayahnya berlatarbelakang al-Huseiniyyah sekaligus ulama spiritual besar bernama Sayyid Ibrahim Al-Khalil ibn Ali al-Shadzili sekaligus penulis buku Al-Marji’: Ma’alim Al-Masyru’ wa al-Mamnu’ min Mumarasat al-Tashawwuf al-Mu’ashir. Ibunya juga berasal dari keturunan mulia al-Hasaniyyah yaitu putri wali quthub besar bernama Mahmoud Abu Alyan al-Shadzili.

Lazimnya keluarga ulama terpandang di Mesir, pendidikan beliau ditempuh di Al-Azhar. Hapal al-Qur’an dengan pelbagai varian bacaannya (al-qira’at al-mukhtalifah) di usia sepuluh tahun. Pada masa antara tahun 1926 sampai dengan 1930, beliau menyelesaikan memperoleh gelar akademik tertinggi (al-‘alamiyah) di Universitas Al-Azhar. Kemampuannya yang fasih dalam penguasaan pelbagai bahasa asing menjadikannya diangkat sebagai pejabat di Kementerian Pendidikan sekaligus guru besar di Lembaga Tinggi Pelatihan Imam dan Da’i di Kementrian Wakaf dan menjadi dekan di Universitas Al-Azhar. Dari Lembaga Tinggi ini banyak lahir pendakwah terkemuka dari penjuru dunia.

Kemampuan berbahasa asingnya juga nampak dalam beberapa karya ilmiah. Selain menerjemahkan buku Muhammad Iqbal dari bahasa Persia, beliau juga mengalihbahasakan buku karangan penyair Jerman Heinrich Heine serta beberapa penyair Eropa dan Persia lainnya. Terjemahannya ini banyak dimuat dalam majalah Apollo yang ia kelola bersama dengan Ahmed Shawqi. Tak hanya itu, tulisan beliau juga beredar di majalah-majalah sastra besar terdahulu, seperti majalah al-Nahdah al-Fikriyyah, majalah al-Fajr dan al-Ikhwan.

Sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya, beliau aktif terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa literatur mencatat, beliau adalah pionir dan pendiri al-‘Ashirah al-Muhammadiyah, penggagas majalah al-Muslim pada tahun 1950 (majalah sufi pertama di dunia Islam), pendiri Institut Persiapan Pendakwah dan juga pendiri tarekat Muhammadiyah Shadhiliyyah. Bahkan beliau menginisiasi pemugaran masjid dan situs bersejarah di Qaitbay dan Barquq. Sebagaimana ikut berperan aktif dalam proyek renovasi petilasan Abu Alyan di Sha’id Mesir Selatan dan juga Sahah Muhammadiyyah beserta Masjid Imam Abu Hasan al Syadzili di Humaithara.

Kiprahnya tidak hanya sekadar di tanah Mesir. Beberapa kesaksian mencatat bahwa beliau pernah menjadi anggota Dewan Tertinggi Urusan Islam, Komite Tertinggi Agama di Kegubernuran Kairo, penggagas sekaligus pemateri dalam Konferensi Internasional tentang Biografi Nabi dan Sunnah, Konferensi Internasional tentang Dakwah, dan anggota di beberapa akademi ilmiah di negara-negara Arab dan Islam bersama dengan figur-figur besar lain seperti Al-Imam al-Akbar Syeikh Abdul Halim Mahmud dan Syeikh Hasanayn Makhlouf, Mufti Besar Mesir.

Tak ada keraguan tentang kontribusi perjuangan beliau bagi Mesir. Bersama murid-muridnya dan anggota tarekat Muhammadiyyah Shadziliyyah, Syeikh Zakiy Ibrahim terlibat aktif dalam persiapan perang tahun 1973. Beliau melakukan mobilisasi, membangun kesadaran tentang partisipasi perjuangan, dan bahkan turun langsung menghabiskan malam yang panjang bersama para prajurit di garis depan di Laut Merah. Beberapa tokoh besar lain ikut mendampinginya seperti pemimpin sufi populer di Suez, Syeikh Hafidz Salama dan Syeikh Muhammad al-Ghazali. Darah pejuang dalam diri beliau adalah warisan dari kakek moyangnya, Imam Hussein ibn Imam Ali yang terlibat dalam perang Afrika Utara dan Asia Tengah, dan dari guru spiritualnya, Abu al-Hasan al-Shadzili yang ikut dalam pertempuran di Mansoura melawan Tentara Salib.

Pengakuan atas jasa dan kiprahnya, baik intelektual, sosial dan spiritual, datang tidak hanya dari lembaga atau institusi, bahkan juga dari negara. Presiden Gamal Abdel Nasser yang memberinya Selempang Pionir Pertama dan Medali Kehormatan. Presiden Anwar Sadat menganugerahkannya Medali Emas Keunggulan dan Presiden Hosni Mubarak memberinya Medali Ilmu Pengetahuan dan Seni yang diperuntukkan bagi para cendekiawan dan penulis hebat. Syeikh Zakiy Ibrahim juga memperoleh Medali Emas Keunggulan dari Presiden Hosni Mubarak. Tak hanya itu, Presiden Yaman Abdullah Al-Salal menganugerahkan penghargaan penghormatan resmi kenegaraan.

Sebagai seorang ulama terkemuka di Mesir, Syeikh Zakiy Ibrahim banyak melakukan kegiatan keagamaan. Beliau aktif mengisi pelbagai program keagamaan di radio dan televisi. Beliau juga secara rutin memberikan khutbah, ceramah dan kuliah umum di banyak forum keilmuan seperti yang dilaksanakan di Masjid Qaitbay. Materi dan konten ceramah beliau beragam; dari fikih, tauhid hingga sastra Arab dan tasawuf, juga hadits. Salah satu isu sosial yang menjadi perhatiannya adalah ekstrimisme. Kegigihannya dalam memerangi ekstremisme sama halnya dengan upaya beliau memerangi takhayul, kemunafikan, dan kelemahan/ kemiskinan. Secara konsisten, beliau selalu menyerukan urgensi bersikap moderat dan menjunjung nilai toleransi, cinta perdamaian, pentingnya ilmu pengetahuan dan kedekatan hubungan dengan Tuhan, serta upayanya untuk mendekatkan aliran dalam tubuh kaum Muslim.

Beliau memiliki seruan ilmiah yang revolusioner, kuat, dan bersifat praksis untuk kebangkitan kaum sufi dan bagi pembebasan tasawuf. Lebih dalam, Syeikh Muhammad Zakiy Ibrahim mendorong pemurnian tasawuf beserta segenap konsepsinya dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan jalan al-Qur’an dan Sunnah. Dalam tasawuf, Syeikh Muhammad Zakiy Ibrahim mengambil tarekat Nasiriyah Shadziliyyah dari ayahnya. Sebagai penguat dalam jalur mata rantai guru tarekat dan sebagai penegasan silsilah tarekat tersebut, beliau menerima tarekat Nasiriyah Shadziliyyah dari ulama besar Maroko, Sayyid al-Yamani al-Nassiri dan saudaranya, Sayyid al-Makki al-Nasiri sewaktu keduanya tinggal di Mesir pada awal revolusi Maroko. Beliau juga menerimanya dari Sayyid Abdul Karim al-Khattab selama masa tinggalnya di Mesir. Maulana Syeikh Zakiyy al-Din Ibrahim meninggal pada 07 Oktober 1998 dan dimakamkan di kawasan Qaytbay berdampingan dengan makam ayah dan kakeknya. Beliau meninggalkan banyak karya ilmiah dengan lintas disiplin keilmuan: bahasa/ sastra, fikih, hadith, tafsir dan aqidah. Beberapa di antara buku-buku beliau adalah: Abjadiyyat al-Tashawwuf al-Islamiyy, Ushul al-Wushul, Mafatih al-Qurab, Al-Muhammadiyyat, Fiqh al-Shalawat wa al-Mada’ih al-Nabawiyyah, Hukm al-‘Amal bi al-Hadits al-Dha’if dan Haula Ma’alim al-Qur’an ‘ala Thariqat al-Muhaddithin fi Qadhaya wa Ma’lumat Hammah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *